Bias Psikologi dalam Digital Marketing

Bias Psikologi dalam Digital Marketing. Tidak bisa disangkal bahwa fenomena digital marketing juga memunculkan bias-bias. Saatnya kembali ke pengetahuan dasar bahwa marketing merupakan sains kontekstual.

“Pak, berdasarkan pengalaman bapak berkarier di dunia marketing selama 20 tahun lebih ini, apa channel marketing yang paling manjur untuk mendorong performa penjualan produk?” Pertanyaan tersebut adalah salah satu pertanyaan paling “ngenes” untuk saya selama beberapa tahun menjadi pembicara di bidang marketing. Sialnya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu saja muncul. Walaupun saya tidak sebal dengan sang penanya, tapi pertanyaan yang berharap jawaban pasti mengenai strategi marketing adalah indikasi bagaimana si penanya belum memiliki dan memahami mindset paling dasar marketing.

Marketing merupakan contextual science di mana setiap strategi bisa punya hasil yang berbeda ketika berbeda konteksnya. Maka dari itu, pertanyaan-pertanyaan yang berharap jawaban yang pasti dan statis seolah-olah ada “strategi dewa” yang terjamin kemujarabannya dalam konteks apa pun adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Kehadiran teknologi digital yang juga menawarkan banyak opsi baru dalam melakukan marketing melalui digital marketing semakin memperkuat tendensi pemikiran ini.

Marketing yang sejatinya adalah kombinasi science & art perlahan-lahan semakin banyak dilihat sebagai sesuatu yang bisa diprediksi dan dihitung dengan tingkat akurasi tinggi, lepas dari konteksnya. Berbagai mitos tentang digital marketing pun berkembang dan dipercaya secara turun temurun. Melengkapi tulisan lain di edisi ini yang sudah membahas berbagai macam mitos yang beredar, saya pun tertarik untuk membahas berbagai macam bias psikologi yang mendorong tumbuh suburnya mitos-mitos tersebut.

Availability Bias

Ini adalah kecenderungan untuk menghargai lebih apa pun yang tersedia dan bisa diukur. Bagaimana digital marketing bisa di over-value oleh para marketer juga tidak bisa lepas dari bias ini. Traditional marketing dengan segala kelebihannya meninggalkan satu celah yang kemudian bisa dimanfaatkan oleh digital marketing, yaitu kemudahan untuk bisa mengukur banyak hal.

Ketika banyak traditional marketing channel hadir dengan tanpa data pasti tentang dampak yang diciptakan, digital marketing menjadi mudah sekali diterima karena hampir setiap output bisa dihitung. Impression, reach, frequency, klik, install, purchase, repurchase, semuanya bisa dihitung dan merupakan data real, ketimbang data statistik hasil interpolasi.

Ketersediaan data ini juga yang membuat digital marketing jadi opsi yang menarik. Terutama di mata mereka yang minim pengalaman dan mendambakan kepastian.

Apakah digital marketing lebih powerful daripada traditional marketing? Belum tentu. Ini amat sangat bergantung pada konteksnya. Namun ketersediaan data dari digital marketing dibandingkan dengan traditional marketing sering kali mendorong availability bias untuk masuk. Intinya, kita menghargai digital marketing sesederhana karena banyaknya data yang tersedia (available) ketimbang traditional marketing.

Ambiguity Bias

Otak manusia diciptakan untuk selalu berusaha mencari pegangan. Dalam banyak hal kita berusaha merasionalisasi bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya tidak bisa diukur secara logis. Dan ketika ada penjelasan logisnya kita kurang percaya diri memilihnya. Bagaimana banyak keputusan dalam hidup kita selalu diwarnai oleh rasionalisasi, termasuk bagaimana kita berusaha merasionalisasi keputusan kita untuk jatuh cinta pada seseorang.

Kita bisa menjelaskan panjang lebar tentang kenapa kita menyukai seseorang. Mengapa saya menyebutnya sebagai rasionalisasi, karena jatuh cinta adalah soal perasaan, dan perasaan tidak melulu rasional. Bahkan ketika berbagai macam kriteria mengapa kita jatuh cinta pada seseorang juga terpenuhi pada orang lain, tidak semerta-merta membuat kita jatuh cinta pada orang lain tersebut.

Logika yang sama juga berlaku pada digital marketing dan traditional marketing. Begitu banyaknya hal yang tak terukur di traditional marketing membuat marketer-marketer muda relatif tidak nyaman kepadanya, dan memilih untuk mengalokasikan dana marketing lebih besar ke digital marketing yang lebih memberikan gambaran terukur.

Fundamental Attribution Error

Bias ini adalah kecenderungan kita untuk mengatribusikan sesuatu kejadian pada hal yang tidak sepenuhnya berperan. Ketersediaan banyak data pada digital marketing seringkali membuat kita over-value terhadap digital marketing, dan mendiskon kontribusi channel lain yang sebenarnya juga berkontribusi terhadap performa marketing kita.

Hal ini amatlah wajar mengingat otak manusia selalu berusaha mencari “pembenaran” terhadap apapun sehingga otak tidak “gelisah” menyaksikan suatu output terjadi tanpa penjelasan yang masuk akal. Keberhasilan marketing untuk memberikan hasil dalam waktu relatif singkat seringkali dimonopoli oleh berbagai effort digital marketing. Berbagai upaya non digital yang pernah dilakukan sebelumnya seolah-olah tidak berhak mendapat pengakuan atas kontribusinya.

Padahal jika kita mengerti bagaimana biddable media pada digital marketing bekerja maka kita akan memahami bahwa performa dan besaran biaya yang ditentukan oleh platform tidak bisa dilepaskan dari faktor likeliness to be clicked. Semakin besar kemungkinan sebuah iklan untuk direspons oleh konsumen, maka semakin murah biaya digital marketing yang dibutuhkan.

Sementara besar kecilnya kemungkinan sebuah iklan untuk direspons tidak bisa lepas dari upaya membangun brand awareness yang tidak melulu soal digital marketing. Sayangnya berbagai upaya membangun brand awareness sering kali tidak mendapat kredit yang selayaknya dalam rangka mendorong performa marketing, termasuk juga digital marketing.

baca juga

    Hindsight Bias & Conformity Bias

    Hindsight Bias adalah kecenderungan kita untuk mengambil kredit dari sesuatu yang sebelumnya kita tidak tahu sebagai sesuatu yang sudah kita duga. Marketing sebagai sesuatu yang sering kali tidak bisa dijamin akurasi output-nya juga tidak luput dari bias ini, terutama digital marketing.

    Ketika kita merancang sebuah strategi marketing, sering kali kita “bertaruh” dalam banyak hal mengingat begitu dinamisnya situasi pasar, konsumen dan juga persaingan. Jika ada satu hal yang amat sangat diinginkan oleh marketer, mungkin kemampuan untuk memprediksi hasil dari strategi marketing yang disiapkan.

    Sifat digital marketing yang bisa diukur seringkali membuat kita lebih mudah untuk mengevaluasi hasil dari strategi marketing kita. Dan oleh karena itu kita tergoda untuk kemudian mengambil kredit dari keberhasilan yang terjadi. “Tuh kan, bener. Saya bilang juga apa”, begitu kita sering berucap merespons keberhasilan marketing, seolah-olah kita sudah tahu hasilnya dari awal.

    Berbagai macam data pendukung yang terlihat sejalan untuk menjadi pendukung mengapa keberhasilan ini terjadi juga tidak luput dari conformity bias, yaitu kecenderungan kita untuk berfokus pada apapun yang sejalan dengan keyakinan kita dan meminggirkan apa pun yang berbeda dengan keyakinan kita. Kesimpulannya, kemudahan digital marketing untuk dievaluasi seringkali membuat kita seolah-olah bisa memprediksi apa yang akan terjadi, setelah hal tersebut terjadi.

    Hyperbolic Discounting

    Manusia punya kecenderungan untuk menghargai sesuatu yang immediate, ada di depan mata secara lebih ketimbang sesuatu yang masih terjadi nanti. Ini juga menjadi alasan mengapa kita sering kali memilih untuk mager di tempat tidur ketimbang beranjak dari kasur dan berolahraga. Kenyamanan yang ditawarkan oleh tempat tidur dirasakan secara langsung.

    Sementara manfaat dari olahraga baru akan dirasakan setelah beberapa waktu. Begitu juga dengan digital marketing. Kemampuannya untuk bisa mengatribusikan hasilnya membuat kita mudah untuk mengenalinya secara cepat, ketimbang kampanye-kampanye traditional marketing yang relatif butuh waktu untuk dilihat dan dirasakan hasilnya.

    Hal itu mendorong banyak digital marketer untuk menghargai digital marketing ketimbang traditional marketing, sesederhana karena hasilnya terlihat lebih instan ketimbang traditional marketing.

    Bandwagon Effect

    Manusia adalah makhluk sosial. Kita menempatkan orang-orang di sekeliling kita sebagai petunjuk mengenai bagaimana kita harus bersikap. Hal tersebut juga yang mendorong kita untuk memilih restoran seafood paling ramai di Pantai Jimbaran, bahkan tanpa mengetahui rasa dari masakan restoran tersebut dan juga restoranrestoran di sampingnya.

    Kita khawatir akan risiko dari memilih restoran lain yang sepi pengunjung, sekaligus menjadikan pengunjung lain sebagai pedoman untuk memilih restoran mana yang harus dikunjungi. Hal yang sama terjadi dengan digital marketing. Begitu masifnya perkembangan dan adopsi digital marketing menciptakan snowball effect yang mendorong lebih banyak lagi marketer mengadopsi digital marketing sebagai bauran pemasarannya. Sesederhana karena makin banyak yang mengadopsinya.

    Berbagai penjelasan di atas menunjukkan bahwa seperti bagaimana keputusan-keputusan kita untuk menilai dan bertindak terhadap berbagai opsi, strategi marketing juga tidak luput dari bias. Ini tidak berarti digital marketing adalah sesuatu yang mistik dan tidak rasional. Adalah keputusan kita yang didukung berbagai macam biarlah yang membuat digital marketing sering kali “dijual” secara berlebihan sehingga menciptakan halo effect seolah-olah bisa menyelesaikan semua permasalahan marketing.

    Menyadari akan berbagai macam bias yang juga bisa menimpa kita sebagai marketer, alangkah baiknya jika kita kembali kepada knowledge dasar bahwa marketing adalah contextual science, di mana segala sesuatu begitu dinamis tak terlepas konteks.

    Pada akhirnya pemahaman mengenai manusialah yang akan membawa kita untuk tetap kompetitif dengan mampu memanfaatkan dan menempatkan berbagai macam marketing channel sebagai alat yang sangat butuh dukungan strategi di belakangnya ketimbang sebagai jalan keluar.

    Marketing merupakan contextual science di mana setiap strategi bisa punya hasil yang berbeda ketika berbeda konteksnya.

    Leave a Comment

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Scroll to Top